Teringat pengalaman saya ketika
pertama kali menginjakkan kaki ke luar dari Pulau Dewata bersama dengan
teman-teman tercinta. Begitu besar daya tarik sekolah kedinasan (STAN)
dengan iming-imingnya yang GRATIS TANPA BIAYA KULIAH dan LANGSUNG
BEKERJA di KEMENTERIAN KEUANGAN, membuat kami memberanikan diri
meninggalkan kampung halaman dan bahkan menyeberangi pulau. Memang
sebagian besar dari kami memilih STAN karena faktor GRATIS, kesetaraan
(kesamaan), jaminan kerja, serta biaya.
Bersama-sama kami dalam satu
rombongan. Ada yang ditemani orangtuanya, tapi sebagian besar
berangkatnya sendiri tanpa didampingi orang tua. Pada umumnya orang tua
mendampingi kami saat memilih sekolah, saat mendaftar, atau masuk
sekolah, namun karena faktor biaya yang harus kami hemat membuat kami
sepakat untuk berpikiran bahwa “SAYA HARUS LULUS” dan “KETIKA KAMI
LULUS, ORANG TUA HARUS DATANG KE JAKARTA UNTUK IKUT MENNYAKSIKAN
KELULUSAN KAMI”. Faktor lainnya dari diriku sendiri adalah aku merasa
sudah dewasa secara fisik walaupun juga masih dalam tahap
pendewasaan,sehingga ini adalah tahap pembelajaran yang baik untuk masa
depan. untuk itu mereka (orang tua) ku minta untuk selalu mendoakanku
selama perjalanan, dan mengikuti seleksi Ujian Saringan Masuk (USM).
Untuk masuk dan diterima sebagai mahasiswa, pada tahun 2004 kami melewati tahapan seleksi yaitu:
1. Seleksi Administrasi (kelengkapan persyaratan dan nilai).
2. Tes Potensi Akademik (Ujian Psikotest, Matematika Dasar, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris).
3. Surat Kesehatan (tidak boleh buta warna, minus/berkaca mata dsb)
Persyaratan tersebut mesti dipenuhi
seiring dengan tahapan lulusnya seleksi. Satu saja syarat tersebut gagal
dipenuhi, pupus sudah harapan untuk masuk menjadi mahasiswa dan kami
harus mengulang pada tahun depan jika masih ingin mencoba (maksimal 3
kali). Syarat nilai saja pada waktu itu sudah ketat yaitu rata-rata
nulai ujian akhir nasional (NUAN) 6,5, ditambah TPA 180 soal dijawab
dalam 3 menit. Kaya sudah mau masuk CPNS saja.. Awalnya kami berpikir
yang mungkin memang harus berat, karena jika kami lulus maka kami akan
langsung diangkat sebagai CPNS. Okay… “Diikuti dan dijalani saja”
pikirku.
Mendengar hasil bahwa aku lulus dan akhirnya bisa mengikuti perkuliahan
yang telah disiapkan pihak kampus, muncul perasaan lega dan was-was.
Meskipun aku baru bisa lulus pada ujian kesempatan kedua, Orang tuaku
selalu meyakinkan bahwa aku bisa menjalaninya meski bayang-bayang DO
menghantui. Drop out di STAN disebabkan oleh banyak faktor yaitu:
1. Absensi yang harus memenuhi minimal 80%
2. “Sentimen dosen pada mahasiswa yang berimbas pada nilai indeks prestasi (IP/IPK)” (sekaarng sudah lebih objektif)
3. Kesehatan mahasiswa akan turun pada
musim-musim tertentu terutama pada saat musim hijan (DB), menjelang
ujian (pusing-demam hingga tipes), dan musim menyusun Karya Tulis
(KTTA/Skripsi)
4. Gagal ujian (berimbas ke IP/IPK juga)
Tak jarang kira-kira dari satu angkatan yang masuk pada tahun yang sama,
kelulusan mahasiswa mencapai 80%. Jika mahasiswa yang diterima ada
1.000 orang, maka yang lulus sekitar 800 orang, dan itupun merupakan
jumlah yang sudah bisa dibilang “banyak”. Menjadi salah satu alumni
merupakan suatu kebanggaan, dimana aku bisa menunjukkannya kepada orang
tuaku. Selain itu, setelah lulus, kami langsung ditempatkan untuk magang
sambil menunggu untuk diangkat sebagai CPNS. Meskipun kami hanya
mendapat uang tunggu sebesar 350.000/bulan selama magang, tapi itu
sebanding dengan pengalaman yang kami peroleh. Bersyukur rasanya hingga
saat ini masih bisa menjadi pegawai yang baik di institusi Kementerian
Keuangan ditengah cemooh masyarakat, namun yang bisa aku lakukan hanya
mengusahakan yang terbaik sesuai nilai kementerian keuangan (Integritas,
Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan).
Jika dibandingkan dengan kondisi saat
ini, sepertinya kondisi lulusan STAN seperti hidup segan matipun enggan.
Mengapa demikian??? Melihat apa yang sudah aku alami selama ini,
dengana turan-aturan yang ada, alumni diibaratkan seperti cinta yang
digantung (enggak enak). Aku bisa bilang sepertu itu karena:
1. Alumni harus mengikuti seleksi masuk yang begitu ketat;
2. Menghadapi bayang-bayang DO;
3. Setelah lulus harus tes kembali untuk diangkat sebagai CPNS, jika tidak lulus ya wasalam;
4. Setelah lulus malah jadi pengangguran (menunggu pengangkatan setelah tes tanpa magang) otomatis tidak ada uang tunggu lagi
5. Mau kerja ga ada ijasah karena ditahan, kalo ngga kerja dicemooh warga sekitar yang mulutnya nyinyir
6. Mulai kerja (CPNS) pada beberapa instansi harus menunggu waktu yang lama, bahkan hingga lebih dari 1 tahun.
Melihat kondisi mereka yang seperti
itu, tidak salah jika mereka sempat membuat heboh media internet dengan
sepucuk surat yang ditulis untuk menteri. Apakah kualitas mereka yang
bagus ini patut disia-siakan???
Sumber : Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar